vespa keren

Sabtu, 23 April 2011

MP TILAWAH




Sendi terpenting munculnya kepolitikan otoriterisme-birokratik
dengan demikian adalah dukungan dan keterlihatan penuh militer
dalam aktifitas pengelolaan regim baru ini. Militer tak diragukan la-
gi adalah kelompok yang paling memenuhi persyaratan dan memi-
liki kapabilitas untuk memikul beban berat yang· mesti diemban
oleh Orde Baru. Sebagai salah satu kekuatan politik yang tangguh
sejak Demokrasi Terpimpin militer pastilah telah bersiap-siap untuk
melibatkan diri secara langsung dalam politik. Bahkan 'Dwi Fungsi
ABRI yang menjadi raison d'etre keterlihatan langsung itu telah di-
matangkan dalam proses yang tidak bisa dibilang singkat sejak
1958.61 Namun berkaitan dengan profesionalisme militer itu sendiri,
maka seperti yang dikatakan oleh Yahya Muhaimin,62 dalam diri
militer secara inheren terdapat semacam "technical inability to ad-
ministrate", di samping sebenarnya juga "lack of legitimacy to go-
vem", mengingat kehidupan sosial lebih kompleks daripada kehi-
dupan militer. Karena itu militer akhirnya tetap merasa perlu untuk
berkolaborasi dengan kalangan sipil tertentu untuk menutupi celah
di atas. Dan mengapa teknokrat yang dipilih, maka tidaklah sulit
untuk menemukan sebabnya. Di samping ketidak-puasan terhadap
kalangan politisi sipil yang sebelumnya telah kedodoran dalam me-
ngelola politik dan ekonomi negara, penyebab lain adalah karena
baik militer maupun teknokrat mempunyai orientasi yang sama da
lam upaya memecahkan masalah sosial dengan cepat dan secara po-
litik netral.63
Sendi penting lain, berkaitan dengan karakteristik keempat di
atas serta sedikit banyak karakteristik kelima, adalah berlangsung-
nya mekanisme political exclusion (penyingkiran pditik). Menurut
O'Donnel, salah satu kriteria penting regim OB adalah:

Apakah tindakan pemerintah ditujukan untuk menyingkir-
kan sektor populer kota yang telah aktif sebelumnya ··· dari
area politik nasional. Penyingkiran ini berarti pemerintah seca-
ra konsisten menolak untuk memenuhi tuntutan-tuntutan poli-
tik yang dibuat oleh para pimpinan sektor ini. Ia juga berarti
penghalangan akses sektor ini beserta pimpinannya terhadap
posisi dalam kekuasaan politik yang memungkinkan mereka
mempengaruhi secara langsung keputusan bagi kebijaksanaan
nasional. Menyingkirkan politik dapat dilaksanakan dengan ke-
kerasan secara langsung dan/atau dengan menutup saluran
akses politik melalui pemilu.... menyingkirkan para aktor po-
litik melibatkan suatu keputusan yang disengaja untuk mengu-
rangi jumlah orang yang memiliki pengaruh penting dalam
menentukan apa yang terjadi pada level kepolitikan nasional.64

Partai-partai politik secara mencolok telah menjadi obyek ter-
penting mekanisme polifical exclusion di masa Orde Baru. Anggota
inti koalisi Orde Baru, khususnya kalangan perwira Angkatan Darat
dan kelompok intelektual pembaharu, pada dasarnya memiliki pe-
rasaan anti-partai yang mendalam. Di masa terdahulu, baik masa
Demokrasi Liberal maupun Demokrasi Terpimpin, parpol selalu
merupakan pemegang saham terbesar dalam setiap langkah ke arah
instabilitas politik.
Perasaan antipartai di kalangan para pendukung Orde Baru
berimpit dengan perasaan "anti-ideologi" mereka. Konflik ideologis
dipandang sebagai dosa masa lain yang tidak boleh terulang lagi.
Heterogenitas bangsa di masa sebelumnya telah sangat dipertajam
oleh sekat-sekat ideologis yang --sengaja atau tidak-- telah dibuat.
Parpol, lagi-lagi, adalah pemegang saham terbesar di sini.
Upaya menciptakan masyarakat yang bebas dari sekat ideologis
itu bejalan simultan dengan upaya menyingkirkan parpol ke posisi
marjinal dalam sistem politik. Berbeda dengan Sukarno, yang juga
cenderung tidak menyukai partai politik tapi tetap memandang
bahwa ideologi adalah penting bagi kelangsungan revolusi, maka
regim Orde Baru berusaha meminimalkan kekuatan partai-partai
politik dengan memaksa mereka melepaskan ideologi khas casing
masing dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, di samping
upaya lain dengan jalan memotong akar parpol terhadap massa
tradisional mereka.
Sikap anti-ideologis ini, dibarengi dengan munculnya sikap
pragmatisme Orde Baru untuk lebih memusatkan perhatian pada
perbaikan dan pembangunan ekonomi, disadari atan tidak telah
menumbuhkan ideologi baru: ideologi pembangunan/moderni-
sasi.65
Dalam kepolitikan OB, negara mempunyai tugas penting untuk
melakukan kontrol (pengawasan). Pelaksanaan peran ini dapat me-
ngambil dua bentuk: tindakan represif yang menekan sektor popu-
ler dalam masyarakat yang kadangkala dilakukan secara berlebih-
lebihan, atau berupa tindakan preventif untuk mengeliminir kon-
disi-kondisi yang dapat memunculkan kembali pemimpin, organi-
sasi, serta tuntutan dari sektor-sektor populer terhadap kebijak-
sanan politik (juga ekonomi) exclusion yang dijalankan negara.66
Pergeseran dalam pola hubungan antara pemerintah dengan
umat dan ormas Islam yang belakangan muncul tampaknya mengi-
kuti alur perubahan bentuk pengawasan dalam kepolitikan OB itu.
Mengendornya ketegangan dalam hubungan itu dimungkinkan oleh
mulai dikuranginya bentuk kontrol represif terhadap sektor-sektor
populer Islam untuk digantikan dengan bentuk kontrol yang lebih
bersifat preventif.
Di samping karakteristik OB di atas. regim Orde Baru juga me-
nunjukkan ciri korporatik dalam pengorganisasian negara dan ma-
syarakat. Kenyataan bahwa proses politisasi massa pada masa
sebelumnya pernah mencapai tingkat intensitas yang begitu tinggi
menyebabkan negara tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan
politik yang represif begitu saja terhadap massa. Maka jika di satu
sisi regim Orde Baru giat melakukan depolitisasi besar-besaran, di
sisi lain negara tetap membutuhkan mobilisasi rakyat sebagai
sumber daya penggerak ekonomi. Sementara itu pertumbuhan eko-
nomi yang pesat sangat mungkin memunculkan kelompok-ke-
lompok besar baru dengan kepentingannya sendiri yang membawa
tuntutan baru terhadap pemerintah, di samping kelompok-ke-
lompok yang frustrasi dan dapat menimbulkan masalah besar bagi
regim. Terhadap kelompok-kelompok besar dalam masyarakat,
regim mesti dapat mengakomodasikannya tanpa menganggu ke-
utuhan regim, sementara terhadap kelompok-kelompok yang di-
sebut belakangan, regim harus siap mengendalikannya dengan cara
memanipulasi saluran-saluran perwakilan.67 Mekanisme eksklusi
yang terdapat dalam kepolitikan Orde Baru diterapkan dengan
jalan korporatisasi negara sebagai suatu jaringan besar, sehingga
dengannya konflik-konflik ideologis dapat diminimalkan dan
dikompensasikan ke arah tujuan-tujuan ekonomi.
Dengan membuat sintesa definisi Schimtter dan Gunter, Mohtar
Mas'oed mendefinisikan korporatisme sebagai:

Suatu perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang mem-
bentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya
terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak
saling bersaing, diatur secara hirarkis dan dibedakan secara
fungsional, dan diakui dan diberi ijin (jika bukan diciptakan
oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili kepen-
tingan dalam badan masing-masing sebagai imbalan atas kese-
diaan mematuhi pengendalian-pengendalian tertentu dalam
pemilihan pimpinan mereka, dengan tujuan menindas konflik
kelas dan kelompok kepentingan serta menciptakan keselaras-
an, kesetiakawanan dan kerjasama dalam hubungan antara ne-
gara dan masyarakat.68

Dari definisi ini, korporatisme dapat dipandang sebagai sebuah
model pengorganisasian antara negara dan masyarakat. Menurut
Malloy, korporatisme merupakan usaha untuk memobilisasi basis
yang luas untuk mendukung pembangunan. Usaha ini dilakukan
dengan cara-cara otoriter untuk meminimalkan kunflik dan keterli-
batan dalam konflik.69 Untuk itu prasyarat yang harus dipenuhi
adalah:

Militer profesional modern dengan identitas kelembagaan
dan pandangan yang relatif koheren tentang masyarakat dan
peranan militer di dalamnya; kader teknokrat yang teralienasi
dari masyarakat dan mau bersekutu dengan militer untuk
memperkuat restrukturisasi masyarakat untuk memenuhi
keinginan para teknokrat itu; dan kelompok-kelompok yang
mau menerima inisiatif-inisiatif yang disediakan oleh
negara yang dikontrol oleh militer-teknokrat.70

Malloy juga menyebutkan bahwa sebenarnya korporatisme
merupakan sebuah tema utama otoriterisme.71 Dalam kapasitas ini,
regim-regim korporatis memiliki beberapa karakteristik yang ditan-
dai dengan

Struktur pemerintahan yang kuat dan relatif otonom yang
berusaha memaksakan pada masyarakat sebuah sistem perwa-
kilan kepentingan yang didasarkan pada pluralisme yang di
batasi secara paksa. Regim-regim ini mencoba untuk meng
hilangkan artikulasi kepentingan yang spontan dan menum-
buhkan sejumlah kelompok yang secara otoritatif diakui dan
berinteraksi dengan aparatur pemerintah dalam cara yang te-
lah ditentukan. Selain itu, kelompok-kelompok yang diakui itu
lebih diatur dalam kategori-kategori fungsional vertikal dari-
pada kategori kelas horisontal dan diharuskan berinteraksi de-
ngan negara melalui pimpinan yang ditentukan dari asosiasi
kepentingan yang secara otoritatif disetujui.

Sementara itu, Perlmutter (73 memandang bahwa suatu negara
korporatis, yang pada hakekatnya merupakan suatu oligarki, bia-
sanya didominasi oleh sebuah koalisi para politisi, militer, teknokrat
dan birokrat. Feature politiknya yang paling jelas adalah absennya
partai yang otonom dan kuat. Kebanyakan partai tidak lebih dari
instrumen despot atau oligarki yang korporatis. Demikian pula
halnya kebijaksanaan yang ada. Satu catatan, negara memegang
dominasi hanya dengan dukungan yang aktif dari kelompok-
kelompok korporatis yang otonom, seperti militer dan teknokrat.
Bentuk pemerintahan korporatisme, menurut Schmitter,74
secara sederhana memiliki dua subtipe: subtipe korporatisme ne-
gara (state corporatism) dan subtipe korporatisme masyarakat
(societal corporatism). Jika yang disebut belakangan dicirikan oleh
suatu sistem perwakilan atau asosiasi kepentingan yang relatif
otonom di mana aktifitas-aktifitas dukungan terhadap negara dan
pemerintah merupakan suatu legitimasi politik yang utama, maka
yang disebut pertama bercirikan dengan kuatnya penetrasi negara
terhadap perwakilan-perwakilan dan asosiasi-asosiasi kepenting-
an.75 Kedua subtipe ini dilihat dari dimensi dinamisnya, merupakan
produk dari proses-proses politik, sosial dan ekonomi yang ber
beda.
Korporatisme masyarakat hadir dalam sistem politik yang me-
miliki posisi otonom relatif. Unit-unit teritorial yang ada dalam ma-
syarakat ini mempunyai ciri berlapis-lapis dan terbuka. Di dalam-
nya terdapat sistem kepartaian dengan proses pemilu yang kom-
petitif murni. Otoriterisme eksekutif korporatisme masyarakat dida-
sarkan pada berbagai ideologi dam koalisi, bahkan subkultur
politik yang berlapis-lapis. Sebaliknya korporatisme negara biasa-
nya dikaitkan dengan sistem politik di mana sub-sub unit teritorial
secara kuat disubordinasikan ke dalam kekuatan sentral birokrasi.
Pemilu tidak lebih dari sekadar mekanisme formal, bahkan terka-
dang ditiadakan. Sementara sistem kepartaian yang ada sangat di-
dominasi oleh sebuah partai negara. Otoritas eksekutif secara
ideologis bersifat eksklusif, di mana rekrutmen dilakukan secara
sempit. Tindakan-tindakan represif dilakukan terhadap sub-sub
kultur yang didasarkan pada kelas, etnis, bahasa, dan regio-
nalisme.76
Orde Baru yang sangat birokratis dan otonom lepas dari
kendali kekuatan sosial manapun secara konkrit dapat digolongkan
sebagai bentu pemerintahan korporatis dalam subtipe korporatisme
negara.kemampuan negara masih terbatas untuk memenuhi tuntutan
kelas bawah, sementara upaya penciptaan tenteraman sosial yang pada
saatnya bermuara pada stabilitas politik, sebenarnya mutlak menuntut
adanya pemenuhan kepentingan kelompok ini adalah salah satu masalah yang
pemerintah Orde baru. Dilema ini diatasi bukan dengan menggalang dan
memasukkan mereka kedalam sistem melainkan dengan yang dan memasukkan
mereka ke dalam sistem, melainkan dengan menindas dan menutup kemungkinan
artikulasi kepentingan kelas bawah tersebut, pada saat kepentingan kelas
atas di akomodasi. Lembaga kepentingan dan kelompok-kelompok, kepen-
tingan diletakkan dibawah kendali dali ketat pemerintah. Upaya men-
ciptakan suatu sistem perwakilan kepentingan yang didasarkan
pada pluralisme yang secara paksa dibatasi, dilakukan dengan ja-
lan restrukturasi sistem kepartaian hingga sedemikian rupa. Jalan
lain yang dipilih adalah mennggabungkan kelompok-kelompok
kepentingan ke dalam berbagai organisasi korporatis yang di-
dukung pemerintah, atau pemerintah melakukan penetrasi yang
kuat dan kontrol yang ketat terhadap kelompok-kelompok ke-
pentingan itu, Terlebih yang memiliki asas primordialitas tertentu.
Tingkat intensitas penerapan tindakan dan pengawasan represif
itu mempertegas karakteristik kepolitikan otoriterisme-birokratik
Orde Baru. Betapapun pola pengawasan represif pada saatnya me-
mang mulai menyurut, untuk secara berangsur digantikan oleh
bentuk pengawasan preventif seiring dengan tercapainya tingkat
konsolidasi yang lebih baik oleh pemerintah Orde Baru.


NU sebagai Kelompok Kepentingan

Sebuah kelompok kepentingan (interest group), menurut Almond
adalah "setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan
pemerintah tanpa pada saat yang sama berkeinginan untuk memper-
oleh jabatan publik". Perbedaan terpenting antara kelompok kepen-
tingan dan partai politik terletak pnda tujuan untuk menduduki
jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Parpol memiliki tujuan itu,
sementara kelompok kepentingan tidak. Betapapun dalam
politik tertentu, Indoneiia misalnya, akses parpol terhadap jabatan
publik hanya sebatas kursi di lembaga legislatif, sementara lembaga
eksekutif tertutup, kecuali untuk partai yang disponsori pemerintah.
Sedikitnya perbedaan yang terumuskan secara jelas ini menyebabkan
kelompok kepentingan dapat berubah menjadi partai politik dan
sebaliknya. NU adalah contoh yang tepat untuk argumen ini.
Dalam tujuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah,
masing-masing kelompok kepentingan memiliki perbedaan dalam hal
keteriibatan dalam kontak yang kurang lebih tetap dengan beberapa
level pemerintahan. Berdasarkan itu, Hagopian (78 membuat dikhotomi
umum antara political dan nonpolitical interest group. Jika yang per-
tama memiliki intensitas yang tinggi dalam keterlibatan di atas, maka
yang kedua tidak. Dari dikhotomi sederhana ini dapat dibuat sebuah
kontinuum yang bergerak dari sejumlah kecil kelompok-kelompok
apolitis menuju sejumlah lebih besar kelompok-kelompok kepentingan
yang terpolitisir, seperti terlihat pada gambar di bawah ini:


!! !! !! !! Unions !! Reformer !!
!! !! Artistic !! Religious !! Business !! or !!
!! !! Societies !! Group !! Farmers !! Revolutionary !!
!! !! !! !! Group !! Groups !!
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
0 50 100


Kontinuum ini menggambarkan bahwa tidak ada suatu kelompok
kepentingan yang dapat secara total menjauh dari keterlibatan dalam
politik. Sekalipun beberapa kelompok lebih suka jika pemerintah tidak
mencampuri urusan mereka, namun konflik kelompok yang kerap
muncul akan memaksa pemerintah untuk melakukan campur tangan
sebagai wasit dan pembela kepentingan umum.79
Pada kontinum di atas, kelompok kepentingan keagamaan pada
umumnya berada di titik moderat antara totally unpolicized dan
totally politicized. Kelompok keagamaan tidak bisa sepenuhnya terlibat
dalam mekanisme politik, terutama di negara-negara sekuler yang ti-
dak berdasarkan pada asas agama tertentu. Sementara untuk secara
total berada di titik nol juga tidak dimungkinkan. Pemerintah yang
berkuasa tentu saja tidak ingin mengabaikan kelompok-kelompok yang
berkemampuan tinggi untuk menggalang sejumlah besar umatnya.
Dalam masyarakat modern, para pemimpin politik selalu membutuh-
kan organisasi-organisasi terspesialisasi sebagai pemberi dukungan
yang sangat penting bagi kelangsungan sistem politik, di samping
untuk menggerakkan --sambil mengawasi-- organisasi-organisasi itu.80
Dalam kasus NU, agaknya kurang tepat meletakkannya pada titik
tengah itu, sekali pun pasti bahwa NU adalah organisasi keagamaan.
Pengalaman panjang sebagai partai politik, serta kuatnya orientasi
politik NU, menempatkannya semakin ke kanan dalam kontinuum di
atas. Munigkin malah mendekati posisi kelompok-kelompok reformasi
atau revolusioner.
Kelompok-kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam
hal struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya. Per-
bedaan itu sangat mempengaruhi tata politik, ekonomi dan sosial suatu
bangsa. Almond menawarkan klasifikasi yang kemudian banyak
digunakan untuk membedakan kelompok kepentingan atas: 1. kelom-
pok anomik (anomic groups), 2. kelompok nonassosiasional (nonasso-
ciational groups), 3. kelompok institusional (instutional groups) dan 4.
kelompok assosiasional (assosiational group).81
Kelompok anomik sebenarnya merupakan bentuk penetrasi ma-
syarakat yang kurang lebih spontan terhadap sistem politik, seperti
kerusuhan, demonstrasi, tindak kekerasan politik, dsb. Letupan-letup-
an spontan itu muncul terutama bila kelompok yang terorganisir absen,
atau kalaupun ada, kepentingannya tidak terwakili secara memadai
dalam sistem politik itu.
Diragukan, sebenarnya, apakah kategori ini benar-benar memadai
sebagai faktor analisis. Kerusuhan, demonstrasi, serta kekerasan juga
merupakan tindakan instrumental dari kelompok-kelompok lain seba
gai ekspresi aspirasinya. Jadi hal itu kurang dapat dianggap sebagai
sebuah tipe kelompok kepentingan.
Kelompok nonassosiasional pun, seperti kelompok anomik, jarang
yang terorganisir secara formal dan rapi dengan kegiatan yang bersifat
insidental. Wujudnya bisa kekerabatan, keturunan, etnik regional, sta-
tus, kelas, dan seterusnya. Kebanyakan kelompok ini merupakan kate-
gori sosial yang luas dari suatu komunitas "alamiah", yang tidak ter-
wakili oleh suatu organisasi formal.
Secara teoritik kegiatan kelompok nonassosiasional merupakan ciri
masyarakat yang belum maju. Dalam masyarakat modem yang sudah
sangat terdiferensiasi, keberadaan kelompok ini lambat laun tergeser.
Sebab di samping persaingan dari kelompok-kelompok yang terorga-
nisir melemahkan upaya-upaya kelompok ini, kelompok-kelompok
nonassosiasional dengan kepentingan yang terus berkembang biasanya
segera membangun struktur yang terorganisir dan, karenanya, masuk
dalam kategori kelompok assosiasional.
Kelompok assosiasional, biasanya berupa serikat buruh, organisasi
pengusaha, industrialis, persatuan-persatuan yang diorganisir kelom-
pok-kelommpok agama, dan lain-lain. Secara khas kelompok ini menya-
takan kepentingan dari suatu kalangan khusus. Cirinya meliputi ada-
nya prosedur-prosedur yang teratur, staf profesional yang umumnya
bekerja penuh, serta ketegasan berkaitan dengan fungsi mereka yang
terspesialisasi untuk melakukan artikulasi kepentingan. Organisasi for-
mal dari sebuah asosiasi mempunyai hirarkhi jabatan dan pembagian
kerja, seringkali dalam pola birokratis Weberian. Kelompok ini biasa-
nya mengadakan pertemuan dalam interval yang tetap -tahunan, lima
tahunan,dst.-- di mana wakil-wakil dari seluruh anggota berkumpul.
Pertemuan ini memilih para pemimpin papan atas serta mengesahkan
Garis-garis besar kebijaksanaan organisasi.
Jika diberi kesempatan berkembang, kelompok kepentingan aso-
Siasional cenderung untuk menentukan perkembangan jenis-jenis
kelompok lain. Basis organisasional yang kuat menempatkannya di
atas kelompok nonasosiasional, taktik dan tujuannya sering diakui
sah dalam masyarakat. Dengan mewakili kelompok dan kepenting-
an yang luas, kelompok ini dapat dengan efektif membatasi penga-
ruh kelompok-kelompok lain, bahkan -meskipun jarang terjadi--
kelompok institusional.
Kelompok institusional merupakan organisasi-organisasi for-
mal atau kelompok informal yang kuat dalam lembaga-lembaga
sosial, yang mempunyai fungsi nyata selain artikulasi kepentingan.
Organisasi ini seperti parpol, korporasi bisnis, badan legislatif. Mili-
ter dan birokrasi termasuk dalam organisasi tipe ini. Kelompok ini
bisa menyatakan kepentingannya sendiri maupun mewakili kepen-
tingan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Kelompok ini bia-
sanya cukup berpengaruh karena basis organisasinya yang kuat.
NU tampaknya lebih mendekati karakteristik kelompok kepenting-
an asosiasional. Organisasi ini secara khas membawa kepentingan
suatu segmen umat Islam Indonesia yang secara eksplisit menyatakan
dirinya sebagai penganut faham ahlussunnah wal jamaah. Secara struk-
tural, kepengurusan NU terbagi dalam unit-unit yang secara horizontal
meliputi pengurus Mustasyar, Syuriyah dan Tanfidziyah. Di samping
itu terdapat pula unit fungsional seperti Lembaga Ekonomi, Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, dan lain-lain. Dalam
garis vertikal NU secara hirarkhis terbagi dalam Pengurus Besar untuk
tingkat Nasional, Pengurus Wilayah di propinsi, Pengurus Cabang di
Kabupaten/ Kotamadya, MWC ditingkat kecamatan, Pengurus Ranting
di tingkat desa. Suatu kepengurusan pada tingkat tertentu membawahi
beberapa kepengurusan pada tingkat di bawahnya. Betapapun setiap
tingkat kepengurusan tak kurang otonomnya penataan semacam ini
menurut Hagopian adalah suatu struktur organisasi federal, di mana
suatu kelompok asosiasional memiliki unit-unit lokal dan fungsional.82
Keputusan-keputusan penting yang menyangkut arah perjuangan
NU dalam segala aspeknya, serta penetapan keanggotaan dan pimpin-
an Pengurus Besar, dilakukan dalam sebuah muktamar yang dilakukan
dalam interval lima tahun.
Sebagai sebuah kelompok kepentingan, NU mengemban tugas un-
tuk mengartikulasikan kepentingan anggotanya. Efektifitas fungsi ar-
tikulasi ini pada akhirnya sangat ditentukan oleh kemampuannya un-
tuk memiliki akses terhadap pembuatan keputusan politik utama. NU
bisa saja mengekspresikan kepentingan anggotanya dengan berbagai
cara, namun tanpa kemampuan untuk mempengaruhi struktur pem-
buatan keputusan politik, upaya itu akan nihil.





_______________________________________________________________________
_______________________________________________________________________

61. Tentang perkembangan rumusan dwi fungsi ini, lihat misalnya, Sundhaus-
sen, op. cit., h. 219ff, passim.

62. Dr. Yahya A. Muhaimin, dalam kuliahnya (Militer di Negara Berkembang)
di Fisipol-UGM, tanggal 2 dan 9 Mei 1993.

63. R.S. Milne, "Teknokrat dalam Politik di Negara-negara Asia Tenggara", da-
lam Prisma No. 3, 1984, h. 40.

64. Guillermo O'Donnel, Modernization and Bureaucratic-Authorianism
(Berkeley: Institute of international Studies, University of California,
1979), h.51-52.

65. Mohtar, Mas'oed, op. cil., h. 132ff. Ideologi di sini harus dipandang
dalam makna luasnya, yang dapat dipandang sebagai "belief system".
Hagopian menyebutkan bahwa ideologi dalam makna longgarnya adalah "set
of political beliefs that characterized any individual, group, political
party, goverment, social class, or entire nations." Lihat Mark N. Hagopian,
Regimes, Movements, and Ideologies (NY-London: Longman Inc., 1978), h. 390.

66. Guillermo O'Donnel, "Corporation and The Question of The Slate", dalam Ja-
mes Malloy (ed.), Authoritarianism and Corporatism in Labin America
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 19T7), h. 69.

67. Mohtar Mas'oed, op cit., h. 12

68. Ibid., h. 13.

69. James M. Malloy, .'Authoritarianism and Corporatism in Latin America:
The Case of Bolivia", dalam Malloy (ed), op. cit., h. 481.

70. Ibid 482.

71. James M. Malloy, "Authoritarianism and Corporatism in Latin America:
The Model Pattern", dalam Malloy (ed.), ibid.

72. Ibid.

73. Amos Parlmutter, Modern Authoriarianism (New Heavens and Lon-
don: Yale University Press, 1981) h. 38-39.

74. Philippe C. Schmitter, "Still the Century of Corporatism?", dalam F.B.
Pike dan T. Strilch (eds.), the New Corporatism (Notre Dome: Univer-
sity of Notre Dome Press, 1974), seperti dikutip dalam Nur Iman
Subono, Sebuah Studi Teori Bentuk Pemerintahan Korporatisme (Skripsi
FISIP-UI, 1988) h. 41.

75. Ibid., h. 41-42.

76. Ibid., h. 44-45.

77. Gabriel A. Almond, "Interest Groups and Interest Articulatian" dalam
Gabriel Almond (ed.), Comparative Politic Today A World View (Boston:
Little Crown and Company, 1974), h. 74.

78. Hagopian, Regimes, Op. cit, h. 351

78. Ibid.

79. Ibid.

80. Almond, op. cit, h. 82

81. Ibid.,h.74-78. Banyak politik lain yang menggunakan klassifikasi Almond ini.
Hagopian, misalnya. Lihat Hagopian, op. cit., h. 351-356. Begitu pula
Salisbury. Lihat Robert H.Salisbury, "Interest Group",dalam Fred. I. Greenstein
dan Nelson W. Polsby (eds).,Nongovermental Politi, Handbook of Politik Science
vol. 4 (Massachussets: Addison Wesley Publishing Co, 1975), h. 178. Diskusi dalam
beberapa paragraf selanjutnya mengacu pada ketiga sumber ini secara saling me-
lengkapi.

82. Hagopian, Op. cit, h. 352f. Conf: Salisbury, Op. cit., h. 185.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar